KESAKSIAN
Dan mereka mengalahkan dia oleh darah Anak Domba, dan oleh perkataan kesaksian mereka. Karena mereka tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut. Wahyu 12:11
|
Dan mereka mengalahkan dia oleh darah Anak Domba, dan oleh perkataan kesaksian mereka. Karena mereka tidak mengasihi nyawa mereka sampai ke dalam maut. Wahyu 12:11
|
Sebulan yang lalu saya dan dua orang teman menghadiri sebuah perayaan "natal" untuk mendukung LGBT (#QueerChristmas) di kapel STT Jakarta (Sekolah Tinggi Filsafat Jakarta). Kami tinggal sampai akhir acara dan puji Tuhan tadi setiap orang di situ diberikan kesempatan untuk memperkenalkan diri sehinga kami bertiga bisa menyampaikan apa yang Roh Kudus taruh dalam hati kami.
0 Comments
Saya telah diberikan kehormatan untuk ikut dalam Dare to Change (Berani berubah), sebuah konferensi internasional mantan LGBT di Taipei, Taiwan dari tanggal 8-11 November 2018. Lebih dari 15 mantan LGBT dari 15 negara berbeda datang untuk merayakan cinta dan perubahan oleh Yesus Kristus. Tidak hanya kami diberikan kesempatan untuk menyatakan secara umum pekerjaan Tuhan dalam hidup kami tetapi kami juga mendapatkan kenalan baru dan bisa saling menguatkan dalam perjalanan ini. Saya sangat diberkati oleh acara ini.
Rosaria Champagne Butterfield, seorang dosen, membagi kesaksiannya yang mantap tentang pertobatannya kepada Yesus Kristus setelah hidup sebagai seorang lesbi yang habis-habisan menentang kekristenan dan Alkitab.
Dibesarkan di sebuah keluarga katolik, Rosaria tadinya seorang remaja putri biasa yang suka memiliki pacar laki-laki yang perhatian yang "mengajak dia keluar dari rumah." Namun segera, semenjak usia 20 tahun, dia menyadari bahwa hubungan dengan para perempuanlah yang lebih mendalam buatnya. Hal ini semakin menguat dalam hidupnya dan di usia 28 tahun Rosaria mulai memiliki hubungan lesbian. Buat dia ini bukanlah sebuah revolusi melainkan suatu tanggapan alami terhadap perasaan yang dia miliki untuk para perempuan. Aneh foto kami masih dipakai untuk melambangkan homoseksualitas dan "cinta". Supaya jelas, Ana (Anacleta Paredes) dan saya putus karena kami menemukan sesuatu yang lebih besar dari ini dan itu adalah Yesus Kristus.
Sedikit latar belakang: Ana dan saya berpacaran selama 6 tahun. Ya, kami tadinya jatuh cinta namun tak lama kemudian kami mulai merasa kosong. Hubungan kami tidak bisa memuaskan saya lagi dan saya selalu marah kepadanya, menyalahkannya untuk semua yang saya rasakan. Karena kami pikir kami butuh suatu percikan, maka kami pun mencoba untuk membumbui hubungan kami dengan mencoba berbagai narkoba. Memang kami merasa senang saat kami sedang mabok, tetapi setelah itu, kekosongan itu tetap ada. Kami menjadi depresi dan bahkan Ana mengalami serangan kecemasan yang EKSTRIM karena narkoba. Saya sampai pada titik ingin bunuh diri. Saya tahu saya butuh pertolongan dan saya tidak tahu kepada siapa saya harus berbicara dan saat itulah saya berbicara kepada Yesus. Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan atau doakan tetapi kata-kata keluar begitu saja dari mulut saya. Saya berserah penuh kepada-Nya dan bertobat dari dosa-dosa saya. Dulu saya sangat memegang kepercayaan bahwa saya telah 'dilahirkan seperti itu dan tidak bisa berubah' dan oleh karenanya, saya pun siap untuk bunuh diri. Di usia 28 tahun saya merasa buntu. Saya tidak bisa berhubungan secara nyata dengan Tuhan saya dan saya hanya bisa melihat satu pilihan saja selain itu. Masa depan sendirian sebagai seorang lesbian dan peminum nampak kelam bagi saya.
Saat saya berusia 20 tahun, saya mengikuti orientasi seks saya dan meninggalkan iman saya. Beberapa tahun pertama saya merasa nyaman dengan jati diri saya sebagai lesbian dan saya sangat terbuka tentant itu. Namun, saya sadar bahwa saya telah kehilangan hubungan saya dengan Tuhan yang dulu pernah dekat. Saat itu saya merasa doa saya tidak sampai ke Tuhan. Hubungan lesbian pertama saya terasa begitu intensif dan obsesif sehingga saya pikir saya telah menemukan "belahan jiwa" saya. Tidak pernah sebelumnya saya merasakan hubungan yang begitu mengikat dengan orang lain. Dia menjadi lebih penting dari niatan saya untuk hidup sebagai orang percaya, meskipun saya memiliki cukup bukti bahwa Tuhan ada dan Alkitab adalah firman-Nya. Saya pun menjadi bingung saat saya mencoba mengerti apa yang saya kira sebagai kekejaman Tuhan yang menciptakan saya sebagai lesbian namun menghukum saya dengan penolakan karena itu Ayah seorang pekerja keras dan dia kurang menunjukkan kasih sayang. Saya tahu dia mengasihi saya tetapi dia kurang memberikan saya perhatian dan peneguhan kepada saya sebagai seorang perempuan. Yang adalah malah saya dipuji jika saya melakukan kegiatan fisik yang membutuhkan kekuatan. Ibu saya sangat penuh kasih sayang, begitu juga nenek saya, jadi dari merekelah saya paling banyak menerima kasih sayang.
Saat saya berusia lima tahun, saya ingat saya ingin menjadi anak laki-laki. Saya selalu bermain dengan anak laki-laki dan sangat tomboy. Saya ingat tertarik kepada seorang tetangga wanita kami dan saya suka pergi ke rumahnya untuk berada dekatnya. Saya ada ketertarikan kepadanya. Walaupun bukan ketertarikan seksual, tetapi ketertarikan tetap agak aneh. Hidup saya berubah total pada musim panas 2013. Saya mendengar sebuah suara untuk melihat sebuah pohon selagi saya sedang mencuci piring. Saya tahu itu bukanlah suara salah satu anggota keluarga saya karena tidak ada seorang pun waktu itu. Suara itu mulai bercerita tentang bagaimana pohon-pohon telah ada sejak permulaan waktu tetapi kita tahu bahwa benih harus ditanam supaya sebuah pohon bisa bertumbuh. Jika kamu menanyakan seorang anak kecil berapa lama sebuah pohon telah ada, dia mungkin akan menjawab selamanya sementara kita tahu itu tidak benar. Begitu juga dengan homoseksualitas. Sebuah benih telah ditanamkan di dalam seorang anak, mungkin itu kutuk keturunan, perkosaan, pelecehan, ejekan, penyiksaan, keyatiman, dsb. Benih yang ditaburkan dalam hidup saya adalah ejekan. Saya tahu saya tidak terlahir gay, saya tahu saja bahwa perasaan tersebut mulai muncul saat sekolah dasar. Saya selalu diejek di sekolah karena tubuh yang kecil dan tidak menggunakan pakaian yang bagus. Sepertinya orang yang menunjukkan kasih adalah para wanita di gereja saya. Oleh karena itu, saya mulai memiliki perasaan kepada mereka dan kemudian perasaan kepada teman-teman saya yang perempuan. Saya pun mulai berpakaian seperti anak laki-laki pada kelas delapan dan punya pacar anak perempuan di kelas sepuluh. Itulah saatnya saya mulai mencoba segala sesuatu dan masuk ke dalam kehidupan homoseks.
|
Archives
August 2020
Categories
All
|
Not The Same Love is a book about God's redeeming love over homosexuality
Pas Le Même Amour est un livre sur l’amour de Dieu qui nous libère de l’homosexualité
Bukan Cinta Sejenis adalah sebuah buku tentang cinta Tuhan yang membebaskan kita dari homoseks
Il Vero Amore è un libro sull'amore di Dio che ci libera dall'omosessualità