Ide membawa konsekuensi dan ide buruk membuat korban. Begitu juga dengan janji palsu akan cinta dan kepuasaan diri. Lebih dari satu setengah tahun setelah keputusan Obergefell (legalisasi pernikahan gay), perdebatan tentang "pernikahan" gay telah surut, sebagaian karena pemilu, sebagian karena huruf "T" dalam akronim LGBT mencuri berita utama, dan sebagian karena Obergefell dianggap sebagai sudah beres. Dan sangat disayangkan karena yang katanya "kemajuan", ternyata itu tidak membawa mimpi yang dijanjikan. Dalam tulisan yang bisa dibilang paling jujur dalam sejarah Huffington Post, Michael Hobbes, seseorang yang mengaku gay, menuliskan tentang apa yang dia sebut sebagai "wabah kesepian". "Selama bertahun-tahun," dia mulai, "Saya memperhatikan adanya perbedaan antara teman-teman saya yang hetero dan teman-teman saya yang gay. Sementara sebagian dari lingkaran sosial saya telah menghilang dalam hubungan (serius), anak-anak, dan daerah pinggiran kota, sebagian lainnya bergumul dengan pemisahan dan kegelisahan, obat-obatan dan prilaku berisiko."
Dari cerita demi cerita dan segudang statistik, Hobbes mendokumentasikan sebuah kecendrungan yang tetap dan mengerikan di antara mereka yang memiliki gaya hidup yang sama dengannya. "Pria gay di mana saja pada tiap usia," tulisnya, "dua sampai sepuluh kali lebih rentan terhadap bunuh diri ketimbang pria hetero." Dan itu hanyalah permulaan saja. Pria homoseks juga memiliki kerentanan yang lebih tinggi akan penyakit kardiovaskular, kanker, alergi, asma, dan sejumlah besar infeksi dan kelainan yang berhubungan dengan prilaku. Mereka dua kali lebih mungkin mengalami masa depresi mendalam, menyatakan memiliki teman dekat lebih sedikit, dan penggunaan narkoba pada tingkat berbahaya. Bahkan hidup dalam yang katanya "lingkungan gay" hanya akan mendorong prilaku berisiko dan penggunaan metamphetamin. Dan, tambah Hobbs, kaum gay berlaku brutal dan buruk terhadap anggotanya sendiri. Aplikasi kencan dalam ponsel pintar menimbulkan kebiasaan mengeksploitasi dan seks bebas. Menurut seorang pria muda yang diwawancara, itu membuat dia merasa hanya sebagai "seonggok daging." Kita sering mendengar cerita dan statistik buruk yang mengkambinghitamkan homofobia, bullying, dan rasa malu. Karena diperlakukan tidak baik semenjak dari kecil, pria seperti penulis ini -beginilah mitos yang sering diulang- dipaksa untuk hidup dalam kebohongan. Mereka depresi karena mereka telah ditekan dan ditindas. Tapi ada masalah dengan hipotesa bullying. Dalam negara-negara seperti Belanda dan Swedia di mana "pernikahan" sejenis telah menjadi legal semenjak bertahun-tahun lamanya, pria gay di sana tetap tiga kali lebih rentan pada gangguan suasana hati dan tiga sampai sepuluh kali lebih rentan terhadap prilaku yang membahayakan diri dan bunuh diri. Situasinya begitu buruk sehingga salah satu responden dalam sebuah survei dari beberapa klinik HIV mengatakan pada para peniliti, "Masalahnya adalah bukannya mereka tidak tahu bagaimana untuk menyelamatkan hidup mereka, masalahnya adalah mereka tidak tahu jika hidup mereka itu cukup berharga untuk diselamatkan." Anehnya, setelah pemaparan yang panjang, brutal, dengan dalil yang bagus, Hobbes kemudian menyimpulkan bahwa penyebab itu semua adalah status sebagai minoritas yang mengajarkan mereka untuk hidup dalam ketakutan. Tidak sekalipun dia mempertimbangkan kemungkinan bahwa gaya hidup itulah yang merusak kehidupan para pria ini. Namun, pendapat satu orang yang dikutip dalam artikel itu memberi petunjuk bahwa dia tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Christopher Stults, seorang peniliti di New York University, mengakui bahwa bagi kebanyakan orang legalisasi pernikahan gay hanyalah sebuah kekecewaan. "Kita memiliki status legal ini, namun masih ada yang terasa kurang." Mungkinkah itu karena gaya hidup ini menjauhkan kaumnya dari keluarga alamiah, anak-anak, dan -menurut statistik bertahun-tahun- hubungan monogamis? Mungkinkah perbedaan yang Hobbes lihat antara yang dia inginkan dan yang dia dapatkan adalah karena gaya hidup yang buruk? Mungkinkah prilaku homoseks secara alamiah memisahkan orang? Mungkinkah Tuhan tidak merancang ciptaan-Nya yang menyandang citra-Nya untuk hidup seperti itu, dan saat kita melakukannya, itu menghancurkan kita? Sayangnya pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dipertimbangkan Hobbes atau para peniliti sosial. Tetapi kita sebagai masyarakat dan terutama gereja harus mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan ini. Selama masih ada orang-orang yang mencoba mengisi hati mereka dengan kebohongan, mengasihi mereka berarti memiliki pikiran yang lebih terbuka daripada Huffington Post. Lihat artikel sumber
0 Comments
Leave a Reply. |
ArsipKategori |